Kamis, 22 Desember 2016

Berpikir = Bermimpi



Reza A.A Wattimena - Malam kemarin terasa panjang. Mimpi terasa begitu nyata. Ia hadir terus, bahkan ketika tidur telah berakhir. Jejaknya menempel sebagai ingatan yang mencabut diri dari saat ini. Banyak orang sulit membedakan mimpi sebagai kenyataan. Mereka mengira, mimpi adalah pertanda. Bahkan tak sedikit yang mengira, mimpi adalah realita. Sigmund Freud, bapak psikoanalisis asal Jerman, juga melakukan penelitian tentang tafsir mimpi (Traumdeutung).
Sekejap, kita bisa sadar. Oh, itu hanya mimpi. Kesadaran ini memutus mimpi, dan membangunkan kita ke dalam kenyataan. Jejaknya pun berlalu, dan sekedar meninggalkan sejumput ingatan sahaja.
Berpikir & Bermimpi
Fokus! Pengalaman bermimpi ini sama seperti pengalaman berpikir. Kita membangun gambaran, konsep dan cerita di kepala kita, lalu mengiranya sebagai nyata. Namun, setelah diteliti lebih dalam, gambaran itu ternyata salah. Mirip seperti mimpi, ia pun segera berlalu, dan hanya menyisakan setitik ingatan.
Saat berpikir, kita membangun konsep. Proses ini seringkali terjadi begitu cepat, tanpa disadari. Kita mulai menilai dan memisahkan. Peristiwa, yang sejatinya adalah peristiwa netral, kini mendapat label baik atau buruk, benar atau salah, nyaman atau tidak nyaman dan sebagainya.
Konsep ini lalu berubah, ketika mendapatkan pengalaman atau pengetahuan baru. Kadang, ia lenyap sama sekali. Dalam konteks lain, ia membesar, karena terus terbuktikan oleh pengalaman. Dalam kesempatan lain, konsep yang baru pun lahir.
Kenyataan dan Penderitaan
Konsep ini begitu nyata dan kuat. Sama seperti mimpi yang terasa begitu nyata, kita lalu mengira konsep sebagai kenyataan. Kita menganggapnya sebagai kebenaran. Ketika kita mengira konsep adalah kenyataan, dititik itu pula, kita memasuki pintu penderitaan.
Sejatinya, sama seperti mimpi, konsep bukanlah kenyataan. Ia adalah sebentuk abstraksi yang dihasilkan oleh pikiran manusia. Ketika sebuah peristiwa kita bungkus dalam konsep, ketika itu pula, ia bukan lagi kenyataan. Konsep memisahkan kita dari kenyataan, dan mengurung kita ke dalam kesalahpahaman.
Mengira konsep sebagai kenyataan adalah salah satu kesalahan terbesar di dalam hidup kita. Ini sama seperti mengira, bahwa mimpi adalah realita. Kita menderita, ketika kita tercabut dari kenyataan, dan terkurung di dalam konsep. Ini sama seperti penderitaan yang kita alami, ketika kita hidup dalam mimpi.
Pengaruhnya juga terasa di dalam hubungan dengan orang lain. Orang yang mengira konsep di dalam kepalanya benar biasanya akan cenderung berselisih pendapat dengan orang lain, yang juga mengira pikirannya adalah kenyataan. Selisih pendapat seringkali tidak berakhir dengan perpisahan, tetapi dengan konflik lebih jauh.
Sebelum Pikiran
Maka, pikiran haruslah dilihat sebagai pikiran. Ia bukanlah kenyataan. Mimpi haruslah dilihat sebagai sekedar mimpi. Ia juga bukanlah kenyataan.
Sambil menyadari ini, kita lalu bertanya, siapa atau apa ini yang sedang berpikir? Siapa atau apa ini yang sedang bermimpi? Jika kita menjawab pertanyaan ini dengan konsep, kita jatuh lagi ke dalam pikiran. Kita harus melepaskan pikiran, konsep dan mimpi, supaya bisa menjawab pertanyaan ini dengan tepat.
Penderitaan dan kebingungan bisa dilampaui, ketika kita berakar kuat di kenyataan. Keduanya otomatis sirna, ketika mimpi dilihat sebagai semata mimpi, dan pikiran dilihat sebagai semata pikiran. Konsep datang dan pergi. Mimpi datang dan pergi. Lalu apa yang menetap? Siapa ini yang sedang membaca?
Matahari bersinar. Angin bertiup. Burung bernyanyi. Gula itu manis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar