Rabu, 28 Desember 2016

Realitas mimpi dalam Filsafat



Banyak terdengar kabar para artis yang berbondong-bondong mendatangi para ahli spiritual untuk mendapatkan bimbingan batin, hal ini merupakan salah satu bukti nyata bahwa uang belum tentu mampu menghadirkan ketenangan batin. Ketenangan batin merupakan hal yang sangat ekslusif yang tidak semua orang bisa meraihnya, kedamaian batin ini hanya bisa didapatkan dengan jalan pendekatan diri dengan Tuhan sehingga seorang individu bisa menjadi hambanya yang shaleh. Produk aktivitas spiritual seperti ini dapat disebut juga sebagai kegiatan dari pengetahuan mistik, pengetahuan mistik seperti ini didapatkan melalui intuisi yang dikaruniakan oleh Tuhan kepada seseorang, dibukakan kepadanya qalbunya sehingga tersingkap kepadanya sebagian rahasia dan tampak kepadanya sebagian realitas. Pengetahuan mistik merupakan sebagian dari pengetahuan Tuhan yang diberikan kepada para Nabi dan orang-orang shaleh. Jadi pengetahuan mistik tidak didapatkan sebagaimana pengetahuan rasional yang bisa diraih dengan segera dan melalui serangkaian penelitian dengan bukti nyata. Pengetahuan mistik tidak dapat disebut sebagai Ilmu melainkan sebagai ma’rifah, dimana kedudukan ma’rifah lebih tinggi diatas ilmu, pengetahuan ma’rifah merupakan hasil tersingkapnya hijab antara manusia dan Tuhanya.
Mistik merupakan sebuah pengalaman metafisik yang sangat sulit dijelaskan oleh intelek (akal) manusia, karena apa yang dirasakan oleh diri kita belum tentu bisa kita jelaskan juga kepada orang lain dengan bahasa verbal maupun tulisan. Mistik merupakan rahasia realitas kebenaran yang hanya bisa dibuktikan dengan pengalaman langsung (Direct Experience), di mana si subyek yang mengetahui dihadirkan dengan obyek yang diketahui. Sehingga realitas kebenaran itu bisa dirasakan langsung yang kemudian bisa dibuktikan, realitas mistik tidak dapat diungkapkan dengan simbolisme bahasa, ada realitas yang dapat diungkapkan oleh bahasa ada juga realitas yang tidak dapat diungkapkan oleh bahasa. Realitas yang tidak dapat diungkapkan oleh bahasa ini yang jika dipaksakan untuk mengungkap realitas mistik akan terlihat seperti mengada-ada yang kemudian menjadi sebuah omong kosong. Bahasa baik verbal maupun tulisan hanyalah sebuah simbol, di mana bahasa jika digunakan sebagai kendaraan untuk mengungkap hal-hal mistik hanya berhenti pada simbol tersebut dan tidak akan pernah menembus realitas. Dalam tradisi islam mistik dapat diungkapkan dengan sebuah aliran yang dikenal dengan sufisme dimana sufisme ini memang memiliki sebuah bahasa obyek yang sudah dirancang untuk mengungkap pengetahuan swaobjektifitas, dengan bantuan sufisme ini mistisisme dapat dikonversi menjadi pengetahuan yang dapat di komunikasikan. Salah satu cara sufisme membuktikan realitas kebenaran mistik adalah dengan cara mimpi, mimpi bisa dijadikan kendaraan untuk mengungkapkan objektivitas dalam realitas dunia mistik, dimana ketika orang bermimpi seakan-akan melihat sebuah obyek yang nyata dan bersifat fisik, padahal disaat yang bersamaan dia mengingkari hal tersebut karena tahu bahwa obyek yang ada dalam mimpinya bersifat tidak nyata dan nonfisik namun itupun baru disadarinya ketika dia terbangun dari tidur. Di dalam mimpi, seseorang dapat melihat sebuah obyek baik itu manusia, nabi, jin dan lainya dengan penglihatanya, kemudian apakah penglihatan fisik yang digunakan untuk melihat obyek tersebut? Padahal katup matanya jelas-jelas dalam keadaan tertutup, manusia melihat obyek tersebut dengan mata, namun bukan dengan mata fisik melainkan mata batin atau mata hati. Disinilah fungsi dari mata batin untuk menterjemahkan realitas kebenaran mistik dalam sebuah mimpi. Penglihatan fisik kita tidak akan mampu untuk melihat cahaya tuhan karna terlalu terang, sebagaimana kelelawar yang tidak dapat melihat cahaya di siang hari karena terlalu terang. Maka untuk melihat cahaya tuhan kita menggunakan mata hati yang bersih. Secara umum pengalaman mistik dapat disebut juga sebagai pengalaman keagamaan (religious experience) salah satu spesies pengetahuan dengan kehadiran yang tidak dapat dibicarakan, satu-satunya cara untuk membicarakan dan membuat ungkapan mistik, dengan mengalihkan pikiran kedalam diri sendiri dan menghasilkan pengetahuan introspektif mengenai pengalaman-pengalaman mistik yang disaksikan oleh para mistikus sendiri. Kendati pengalaman mistik tidak dapat dikomunikasikan dan diungkapkan dengan bahasa bukan berarti tidak dapat ditafsirkan oleh pelaku yang baru saja mengalami pengalaman-pengalaman itu.
Dalam epistimologi ilmu pengetahuan ada tiga jenis epistimologi yang dapat membantu kita untuk lebih memahami realitas mistik yaitu, burhani, irfani, dan bayani. Burhani yang juga dikenal sebagai qiyas yang kemudian terbagi menjadi dua, qiyas al-illah untuk fikih dan qiyas al-dalalah untuk ilmu kalam. Pengetahuan burhani ini bersumber kepada textual lughawiyah, pengetahuan ini mengandalkan wahyu (text) sebagai obyeknya, irfani merupakan pengetahuan yang bersumber kepada intuisi atau direct experience (pengalaman langsung), sumber pengetahuan ini membutuhkan pengalaman yang mendalam, pengalaman yang dimaksud disini adalah pengalaman batin yang otentik dan fitri yang hamper-hampir tidak terdeteksi oleh logika dan tidak dapat diungkapkan oleh bahasa pengetahuan irfani ini kemudian menjadi cikal bakal lahirnya ilmu al-Hudhuri atau poverbal, prereflektive consciousness atau prelogical knowledge yang akrab dalam tradisi Eksistensial di Barat. Bayani merupakan sebuah pengetahuan yang berbeda dari kedua pengetahuan sebelumnya. Bayani merupakan pengetahuan yang bersumber kepada realitas atau al-waqi baik realitas alam, sosial, kemanusiaan dan keagamaan. Pengetahuan bayani ini kemudian menjadi cikal bakal lahiran ilmu al-Hushuli, yakni ilmu yang disusun dan dikonsep sesuai dengan premis-premis logika, pengetahuan bayani ini tidak menggunakan otoritas teks dan intuisi tetapi lebih menekankan kepada realitas. Dari ketiga pengalaman mistis diatas jelas bahwa pengalaman mistis hanya bisa dijelaskan melalui epistimologi irfani yang berparadigma kepada intuisi batin,  intuisi adalah jalan yang tepat untuk mengungkapkan sebuah realitas mistik, intuisi akan bekerja jika intelek (akal) mengalami kemacetan atau sudah tidak mampu menjelaskan sebuah realitas. ­Ilmu Hudhuri yang dipelopori oleh al-farabi dan dikenal lewat Filsafat Iluminasi yang dipopulerkan oleh Shiraj al-Din Suhrawardi dapat menjelaskan existensi realitas mistik, dimana subyek dapat mengetahui secara performatif atau langsung tanpa representasi mental dan simbolisme bahasa. Subyek harus hadir secara langsung untuk merasakan dan melihat pengalaman mistik yang ingin dirasakanya. Sementara ilmu al-Hushuli merupakan pengalaman yang mengedepankan realitas dan tidak dapat digunakan sebagai metode untuk mengungkapkan pengetahuan mistik. Dengan kata lain, pengetahuan mistik adalah pengetahuan yang berdasarkan direct experience atau knowledge by presense. Dimana subyek harus merasakan dan hadir langsung tanpa bisa diwakilkan oleh siapapun dan apapun. Pengalaman mistik sangatlah berharga dan penting untuk memperkuat keimanan seseorang, walaupun tidak semua orang dapat merasakan pengalaman ini namun setidaknya setiap orang mempunyai kesempatan untuk merasakan pengalaman mistik dengan media sufisme. Iman memang selalu identik dengan mistisisme yang kemudian menimbulkan pertanyaan kenapa iman harus identik dengan mistik? Tuhan, malaikat, jin semuanya bersifat mistik dan gaib. Seandainya saja eksistensi tuhan, malaikat dan jin misalnya saja tidak bersifat mistik dan dapat dijangkau secara empiris, maka dengan mudahnya semua umat manusia percaya dengan satu agama tertentu, untuk itu disinilah letak pentingan iman kepada hal-hal ketuhanan yang bersifat mistik. Untuk pembuktian hal-hal mistik ini tentunya sangat berbeda dengan kita membuktikan sebuah pengalaman empiris dengan menggunakan panca indra, contohnya saja untuk membuktikan eksistensi tuhan kita harus menerima kebenaranya sebagai hipotesa terlebih dahulu, kemudian baru kita buktikan dengan menggunakan intuisi & imajinasi. Agama memang selalu menganjurkan umatnya untuk memulai keyakinanya dengan rasa percaya kemudian diakhiri dengan tambah percaya atau mungkin ragu, berbeda dengan ilmu pengetahuan yang dimulai dengan keraguan dan diakhiri dengan percaya tidak percaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar